B

Media di Indonesia baru-baru ini banyak diwarnai oleh berita kemarahan Presiden Joko Widodo yang disebabkan oleh barang impor. Diketahui dari berbagai rana berita nasional, E-Katalog LKPP didominasi oleh produk-produk impor. Ada indikasi foul play dalam hal ini, yaitu produk ekspor yang dicap produk lokal.

Yang mengejutkan, anggaran belanja pengadaan barang dan jasa besarnya sampai Rp 526 triliun. Sementara itu di pemerintah tingkat daerah sebesar Rp 535 triliun, lalu di BUMN mencapai Rp 420 triliun. Namun, dari segitu banyak anggaran masih banyak yang dibelikan barang impor.

Padahal, ketentuan TKDN sudah diberlakukan di Indonesia, namun dicurigai masih banyak kecacatan dalam penerapanya, terbukti dengan adanya polemik ini. Pasalnya, barang impor yang menjadi permasalahan adalah jenis komoditas yang sudah mampu diproduksi secara lokal seperti alat dan mesin pertanian, alat kesehatan, perkakas rumah sakit, perkakas sekolah, hingga perkakas kantor.

Memang jika dinilai dari segi harga, barang impor kini seringkali menawarkan harga yang jauh lebih murah bahkan tidak masuk akal. Hal ini dimungkinkan karena ada alokasi pemerintah yang dikhususkan untuk meningkatkan produksi barang lokal dan juga adanya dukungan penetrasi pasar ekspor dengan harga yang sangat murah. Akibatnya, pesaing di pasar akan mati dengan sendirinya dan produk Tiongkok menguasai pasar.

Kembali pada kasus yang dialami oleh UMKM, jika ditelusuri lebih jauh lagi, pada dasarnya alasan klasik dalam memilih barang impor ketimbang lokal adalah dari segi kualitas yang dinilai berdasarkan standarisasi. Bukan rahasia lagi jika standarisasi bagi UMKM adalah proses yang berbelit, mahal dan juga sulit bagi pelaku UMKM. Ditambah lagi minim atau bahkan tidak berfungsinya pendampingan standarisasi bagi UMKM maupun IKM.

Sebagai perbandingan, sertifikasi halal yang secara mekanisme lebih berbelit dibanding SNI, telah banyak dilakukan oleh para pelaku UMKM. Berkat upaya BPJPH dalam mendampingi bahkan membebaskan biaya bagi para UMKM, banyak dari mereka kini yang memiliki sertifikat halal, tentunya merupakan produk lokal.

BSNI dan lembaga standarisasi lain perlu menilik kembali kinerja dan efektivitas yang telah mereka capai sampai saat ini. Kebutuhan bagi para UMKM yang merupakan sektor penyumbang PAD dan pendapatan negara terbesar perlu dikawal sampai ke bawah.

Lebih lanjut lagi, pendidikan di Indonesia saat ini juga perlu mulai dibenahi agar dapat diarahkan ke aplikasi yang nyata. Seperti misalnya, bagi anak SMK diberlakukan kurikulum Teknologi Industri. Dengan demikian akan lebih banyak peluang dalam menciptakan teknologi yang murah oleh orang Indonesia sendiri, yang nantinya dapat dinikmati hampir semua kalangan, termasuk UMKM dan IKM.

Penerapan bisa dilakukan dalam bentuk Rumah Produksi Bersama, dimana semua teknologi lokal yang berhasil diciptakan, dikumpulkan dalam satu area sebagai sarana produksi bagi UMKM dan IKM yang bergerak dalam komoditi sejenis. Dengan demikian, standarisasi tidak akan sulit lagi. Selain itu, Rumah Produksi Bersama ini dikelola oleh Koperasi lokal yang memenuhi kriteria yang ditentukan pemerintah setempat. Sebagai kompensasinya, bisa disepakati persentasi pembagian yang nantinya akan masuk ke PAD. Hal ini sangat ideal dan membantu harga produk UMKM dan IKM bersaing walaupun digempur produk impor, dan tentunya akan lebih cepat dan lebih mudah mencapai standar yang ditentukan.
Ditulis oleh : Yoyok Pitoyo, Ketua Umum KOPITU (Komite Pengusaha Mikro Kecil Menengah Indonesia Bersatu)

No comments