Indonesia selain dikenal sebagai Negara Maritim yang besar juga dikenal sebagai Negara Agraris yang berdaulat. Hal ini diketahui secara meluas mengingat sebagian besar mata pencaharian warga negara Indonesia merupakan petani. Hal ini membuat sektor pertanian menjadi sektor kritis bagi perekonomian Indonesia. Salah satu peran terpenting yang dipegang sektor pertanian Indonesia adalah penopang ketahanan pangan negara. Dalam Webinar KOPITU dan Propaktani, perkembangan sektor pertanian dibahas dengan mengadakan banding dengan negara agraris lain di Kawasan ASEAN. Webinar ini dihadiri oleh Duta Besar LBBP RI untuk Republik Sosialis Vietnam Denny Abdi, Duta Besar RI Untuk Brazil Sudaryomo Hartosudharmo, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Suwandi, Ketua Umum KOPITU Yoyok Pitoyo, Wakil Bupati Banyuwangi Sugirah, dan Wakil Bupati Tabanan yang diwakili oleh Kepala Dinas Pertanian Tabanan I Nyoman Budana.

“Banyak sekali pekerjaan rumah yang perlu dibahas jika sudah terkait pengembangan kualitas dan kuantitas pertanian. Namun kita bisa breakdown dulu pada aspek dan sisi mana kita akan mulai. Dari kementerian tentu tidak pernah berhenti melakukan upaya upaya peningkatan melalui berbagai program kerja dan pembukaan peluang-peluang baru. Kami rasa dengan adanya banding dengan negara agraris lain akan sangat bisa memberikan masukan kritis terutama pada aspek teknologi pertanian yang bisa kita adaptasi”, ungkap Suwandi.

Dalam paparanya, Denny Abdi mengungkapkan bahwa perubahan iklim, industrialisasi, kekeringan, berkurangnya pasokan air bersih, polusi, dan kenaikan permukaan laut berpotensi merusak pembangunan pertanian modern yang sedang berlangsung di Vietnam. “Perubahan iklim, kenaikan permukaan laut, dan penurunan lahan pertanian, menjadikan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan teknologi pertanian dan mengadopsi Climate Smart Agriculture (CSA). Oleh karena itu, orientasi perkembangan teknologi pertanian di Vietnam lebih ke arah kendali terhadap kondisi alam, khususnya proteksi dan prevensi terhadap potensi bahaya yang akan datang”, ungkap Denny.

Sedangkan Kadistan Tabanan mengungkapkan bahwa jika pada skala daerah, titik berat peningkatan kualitas dan kuantitas yang sangat urgent adalah pada sumber daya manusia petani itu sendiri. “Kita banyak melakukan pelatihan dan pendampingan untuk petani kita. Kita banyak mewadahi petani agar memiliki akses lebih jauh terhadap teknologi, peluang pasar dan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan”, ungkap Nyoman Budana.

Di sisi yang sama sebagai otoritas di daerah, Sugirah mengungkapkan bahwa Banyuwangi banyak memberikan peluang kepada petani dengan melibatkan stakeholder swasta. “Kita tidak bisa melakukan sendiri, oleh karena itu kami sangat mendukung kerjasama seperti yang dilakukan oleh PT Zhafira Jaya Bumi dan KOPITU yang diresmikan beberapa waktu lalu. Dengan demikian secara tidak langsung kita sudah mendapat berbagai peluang baru melalui keterlibatan pihak yang memiliki kapasitas luas”, ungkap Sugirah.

Menurut Sudaryomo, terkait strategi peningkatan ekspor dan membuka peluang pasar baru, trade agreement perlu diambil oleh pemerintah. “Pemerintah perlu mengadakan banyak perjanjian dagang dengan berbagai negara, dengan demikian akan tercipta peluang pasar baru untuk berbagai komoditas. Di samping itu, tarif juga akan dapat dikendalikan lebih spesifik dan efisien”, ungkap Sudaryomo.

“Sebenarnya tidak hanya terpaku pada pasar ekspor. Yang cukup penting juga adalah perbaikan kualitas produk dari dalam negeri. Karena dengan demikian, kami yakin demand akan muncul dengan sendirinya sehingga ekspor bukan lagi hal yang sulit. Di samping itu, investasi akan dapat terpicu untuk datang. Namun pada saatnya nanti, kita berharap petani juga dapat memahami skema-skema keterlibata petani dalam peluang investasi, demi keamanan para petani dan pemangku kepentingan lain dari business hazard yang mungkin tercipta”, ungkap Yoyok.

No comments