JAKARTA – Partisipasi perempuan dalam usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) mencapai 60% dari 57,83 juta UMKM di Indonesia. Namun sumbangan UMKM perempuan terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 9,1%. Ini menunjukkan peran perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata dalam membangun perekonomian.
Eksistensi perempuan tidak hanya terpaku dalam lingkungan domestik saja, tetapi juga bisa memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian negeri ini. Sosok perempuan pun dapat melakukan peran ganda untuk mencapai titik keseimbangan dalam tatanan keluarga.
Hal ini bisa dilihat dari partisipasi perempuan dalam sektor bisnis yang selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Jika pada 2012 jumlah pegiat UMKM perempuan hanya 58%, saat ini mengalami peningkatan hingga 57,83 juta dengan lebih dari 60% dikelola oleh perempuan. Maka total pelaku usaha UMKM perempuan di Indonesia telah mencapai 37 juta.
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa UMKM telah terbukti mampu menjadi penggerak tumbuhnya ekonomi di Indonesia. Terlebih partisipasi perempuan yang menyumbang tercatat hingga 9,1% terhadap PDB dan 5% terhadap ekspor produk Indonesia.
Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS), kesetaraan berwirausaha antara perempuan dan laki-laki di Indonesi mendapat nilai terbaik se-Asia Pasifik. Hal ini pun ditegaskan oleh Pribudiarta Nur Sitepu, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA).
Saat ini persentase laki-laki Indonesia yang berwirausaha sebesar 14% dari total penduduk laki-laki dewasa. Adapun di kelompok perempuan, persentase wirausaha sedikit lebih tinggi, yakni 14,1%.
“Peran perempuan dalam dunia usaha memang lebih berani dibandingkan dengan laki-laki. Para perempuan wirausaha ini memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang luar biasa,” ungkapnya di Jakarta kemarin.
Menurut Indeks Global Destination Cities, indeks pengusaha perempuan Indonesia menempati urutan ke-30 dengan sektor usaha 62,4%. Tentu saja Indonesia masih terbilang kalah unggul dari Singapura yang sebesar 92,6%, Selandia Baru dengan 74,2%, Swedia 71,3%, Kanada 70,9%, Amerika Serikat 70,8%, Portugal 69,1%, Australia 68,9%, Belgia 68,7%, Filipina 68%, dan Inggris 67,9%.
“Itu berarti Indonesia terpaut selisih jauh dari Singapura sekitar 30,2% dan pemerintah selalu membantu mendorong para pegiat UMKM dengan berbagai kemudahan seperti menyediakan ?kamar ekspor. Waktu itu kita sudah mencoba melakukan ekspor produk makanan ke China seperti keripik,” urai Pribudiarta.
Lebih dari itu penyerapan tenaga kerja di UMKM juga terhitung tinggi, yakni sekitar 96,99% dari total tenaga kerja. Hal ini karena UMKM tersebar di seluruh penjuru negeri dan menguasai sekitar 99% aktivitas bisnis dengan lebih dari 98% berstatus usaha mikro.
“Kuatnya UMKM yang banyak dikelola perempuan dalam membangun perekonomian nasional karena keunggulannya di beberapa faktor. Di antaranya punya kemampuan fokus pada yang spesifik, fleksibilitas nasional, biaya rendah, dan kecepatan inovasi,” papar Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang.
Peran perempuan di sektor UMKM pada umumnya terkait dengan bidang perdagangan dan industri pengolahan seperti warung makan, toko kelontong, pengolahan makanan, industri kerajinan, dan beberapa bidang lain.
“Beberapa sektor usaha ini dipilih karena keleluasaannya untuk dilakukan di rumah sehingga tidak melupakan perannya sebagi ibu rumah tangga. Namun pengembangan UMKM dalam konteks ini harus diletakkan sebagai usaha peningkatan produktivitas sektor publik,” tambah Sarman.
Sesungguhnya perempuan pengusaha relatif lebih tangguh dalam menghadapi dinamika bisnis. Akan tetapi masih banyak kendalanya sehingga membuat usaha tidak berkembang signifikan. “Masih ada kekurangan dari para UMKM perempuan ini, salah satunya masih minimnya akses terhadap informasi keterampilan dan akses penguatan keuangan,” tutur Sarman.
Meskipun awalnya UMKM yang digeluti perempuan lebih banyak sebagai pekerjaan sampingan untuk membantu suami dan untuk menambah pendapatan keluarga, dalam perkembangannya justru menjadi sumber pendapatan rumah tangga utama apabila dijalankan secara serius.
Meningkatkan kapasitas perempuan pelaku UMKM berbasis teknologi komunikasi dan informasi ?tentu saja merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan. Usaha literasi digital penting dilakukan untuk mengembangkan kualitas tata kelola UMKM seperti dengan memanfaatkan penjualan melalui e-commerce.
“UMKM harus bisa mengambil kesempatan yang ada di balik tantangan yang dihadapi dengan menggunakan jaringan internet,” ungkap anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menambahkan, 2020 merupakan tantangan berat bagi UMKM yang terpukul cukup dalam, tetapi hal itu diharapkan tidak menjadi halangan untuk terus bertahan.
Untuk bisa memperkuat UMKM, pemerintah telah menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada UMKM dengan bunga yang rendah. Seb?elumnya Pusat Investasi Pemerintah Kementerian Keuangan melalui kerja sama dengan PT Pegadaian (Persero) menyalurkan pembiayaan ultramikro (UMi) senilai Rp 400 miliar untuk membantu pelaku UMKM dalam masa pandemi.
“Penyaluran kredit melalui dua lembaga ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dan peran pemerintah dalam mendukung program pemulihan ekonomi nasional melalui UMKM,” tegas Nevi.
Selain pemerintah, sektor swasta juga memiliki program untuk mengembangkan sektor UMKM seperti program Perempuan Wirausaha Tangguh dan Kreatif yang fokus di tiga daerah, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Di sini para pelaku usaha yang mengikuti program kerja sama antara Tokopedia, Coca-Cola Foundation (CCFI), dan Asosiasi Perempuan Pengusaha Usaha Kecil (ASPPUK) diberi edukasi tentang cara berbisnis daring hingga bagaimana melakukan pengembangan bisnis.
Penyediaan akses keterampilan bisnis ini diharapkan dapat membantu perempuan sukses sebagai wirausaha dan membantu menciptakan komunitas yang berkelanjutan. (Aprilia S Andyna)