Pemerintah menyatakan keseriusannya memperbaiki Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan menyampaikan surat kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memasukkan revisi UU Cipta Kerja ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2022.
“Daftar kumulatif terbuka ini juga sudah diberikan keputusannya oleh Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Airlangga, dalam Konferensi Pers Tindak Lanjut terhadap Putusan MK atas Pengujian Formil UU Cipta Kerja, Senin (29/11). Revisi UU Cipta Kerja tersebut terkait dengan pasal yang mengandung ketenagakerjaan seperti pelaksanaan ketenagakerjaan, jaminan kehilangan pekerjaan, dan pengupahan.
Terkait hal tersebut ia mengungkapkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) juga akan menyampaikan Instruksi Mendagri kepada kepala daerah mengenai operasional UU Cipta Kerja. Pemerintah bersama DPR saat ini akan terlebih dahulu merevisi UU Cipta Kerja dan pembentukan peraturan perundang-undangan dalam rangka harmonisasi, pembentukan, dan pelaksanaan UU Cipta Kerja ke depan pascakeputusan MK.
Dari sisi investasi, Menko Airlangga menyampaikan UU Cipta Kerja telah menunjukkan hasil yang cukup signifikan, terlihat dari kenaikan investasi berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yakni tumbuh 7,8 persen selama Januari-September 2021 jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy). “Dengan demikian nilainya mencapai Rp 659 triliun dengan jumlah penciptaan kesempatan kerja baru sebesar 912.402 tenaga kerja dari triwulan I sampai triwulan III 2021,” tuturnya.
Ia memerinci pada triwulan I tercipta lapangan kerja untuk 311.793 tenaga kerja, triwulan II sebanyak 311.922 tenaga kerja, dan triwulan III 288.687 tenaga kerja. Selain itu sistem Online Single Submission (OSS) juga telah diterbitkan sebanyak 379.051 sejak 4 Agustus sampai 31 Oktober 2021, yang dominan diberikan kepada usaha mikro sebanyak 357.893 perizinan (94,42 persen), usaha kecil 14.818 perizinan (3,91 persen), usaha menengah sebanyak 3.783 perizinan (satu persen), dan usaha besar sebanyak 2.557 perizinan (0,67 persen).
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Benny Riyanto namun menyatakan hal yang berbeda. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah masuk ke dalam daftar kumulatif terbuka. Sehingga, putusan MK yang meminta perbaikan tak perlu dimasukkan ke dalam Prolegnas.
“Kita setiap saat tanpa harus memasukkan dalam Prolegnas, kita bisa melakukan revisi atas Undang-Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja,” ujar Benny, Senin (29/11). Namun ia menegaskan, pernyataannya ini tidaklah mewakili sikap pemerintah terhadap putusan MK. Benny hanya menjelaskan perbaikan oleh pemerintah dan DPR disebutnya tak akan sulit dilakukan dalam waktu dua tahun ini.
“Sehingga kita pun tidak terlalu sulit untuk memenuhi itu, memperbaiki regulasi yang ada. Baik itu terhadap Undang-Undang 11 Tahun 2020 sendiri dengan kemungkinan ada beberapa kritik berkait dengan typo, juga terhadap UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan,” ujar Benny.
Di samping itu, ia menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja tetap akan berlaku sampai dua tahun ke depan setelah putusan MK. Baru dinyatakan inkonstitusional permanen, setelah selama dua tahun tak dilakukan perbaikan oleh pemerintah dan DPR.
“Pemahaman inkonstitusional bersyarat ini adalah intinya undang-undang yang dimaksud, yaitu Undang-Undang 11/2020. Itu masih tetap berlaku sepanjang syarat yang ditetapkan majelis mahkamah itu dalam tempo tertentu dipenuhi,” ujar Benny. “Nah ini temponya juga sudah ditentukan, selama dua tahun. Berarti UU Cipta Kerja ini tetap berlaku, sambil dilakukan suatu perbaikan selama dua tahun,” sambungnya.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan menghargai putusan MK. Ia menjelaskan, DPR tengah membuat kajian terhadap omnibus law tersebut.
“Selama beberapa hari badan kajian DPR sudah membuat kajian dan dalam waktu dekat pimpinan DPR akan mengadakan rapat konsultasi dengan pimpinan Baleg dan AKD (alat kelengkapan dewan) terkait,” ujar Dasco di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (29/11).
Hasil rapat konsultasi tersebut, DPR segera merencanakan untuk menggelar rapat kerja dengan pemerintah dalam menindaklanjuti putusan MK. Mengingat DPR akan memasuki masa reses pada 15 Desember mendatang. “Untuk sama-sama membahas kajian yang sudah dikaji antara DPR dan pemerintah untuk menentukan nanti langkah lebih lanjut ke depan,” ujar Dasco.
Koordinator tim kuasa hukum pemohon uji formil UU Cipta Kerja Viktor Santoso Tandiasa menilai keputusan MK kurang tegas. “Jadi sepertinya MK memberikan kesempatan bagi pembentuk undang-undang untuk memperbaiki, tapi juga memberi kesempatan untuk kalau tidak perbaiki tidak apa. Kenapa? Karena publik jelas-jelas sudah menolak undang-undang ini,” ujar Viktor dalam sebuah webinar yang dikutip Senin (29/11).
Di samping itu, ia tak bisa menjamin apakan pemerintah dan DPR membuka seluas-luasnya partisipasi publik dalam perbaikan UU Cipta Kerja. Viktor tak ingin, yang terjadi adalah perbaikan omnibus law itu kembali diuji formil. “Jangan sampai uji formil ini terjadi seperti itu, sudah diuji formil, dibentuk lagi tidak sesuai dengan pakem, kemudian diuji formil lagi oleh teman-teman yang tidak setuju,” ujar Viktor.
Ia mempertanyakan, jika dalam waktu dua tahun pemerintah dan DPR tak selesai memperbaiki UU Cipta Kerja maka regulasi manakah yang akan berlaku. Hal inilah yang justru membuat putusan MK dinilainya tidak konsisten dalam memandang regulasi sapu jagat tersebut. “Ini yang saya katakan, jika dalam dua tahun tidak diselesaikan maka pasal, undang-undang materi muatan yang sudah diubah atau dicabut akan berlaku kembali,” ujar Viktor.
“Artinya mengantisipasi terjadinya kekosongan hukum, sehingga kalau pemerintah tidak mau melanjutkan, ya artinya akan kembali pada kondisi awal. Kasarnya tidak terjadi apa-apa,” sambungnya.
Dalam forum yang sama, mantan ketua MK Hamdan Zoelva menilai tepat putusan dari lembaga yang pernah dipimpinnya. Jika dibatalkan, hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru. “Kalau dinyatakan serta merta tidak berlaku, memang dampaknya sangat luas dan banyak sekali perdebatan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru,” ujar Hamdan.
Jika UU Cipta Kerja dibatalkan dan tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, undang-undang mana yang akan digunakan oleh pemerintah dalam mengeluarkan kebijakannya. Termasuk dalam pemberlakuan aturan pelaksanaanya.
“Lalu bagaimana implementasinya di lapangan itu, bagaimana statusnya, kemudian UU yang mana yang akan berlaku. Kalau memberlakukan undang-undang yang lama, apakah ikutan PP yang lama yang berlaku, jadi ini akan menimbulkan kekacauan baru,” ujar Hamdan.
Ia melihat ada tiga alasan mengapa omnibus law tersebut diputuskan inkonstitusional bersyarat. Pertama adalah metode omnibus law yang digunakan untuk membentuk UU Cipta Kerja. Padahal, mekanisme tersebut tak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
“Ini menjadi persoalan dalam pandangan MK, karena ada 78 undang-undang dengan jenis yang sangat berbeda-beda, yang banyak sekali aspek yang diatur dimasukkan dalam satu UU,” ujar Hamdan.
Jika pemerintah ingin menggunakan metode omnibus law, seharusnya terlebih dahulu merevisi UU PPP. Mengingat ada 78 undang-undang yang dimasukkan dalam satu regulasi sapu jagat tersebut.
“Ini saya kira pesan penting pertama. Jadi tidak bisa lagi omibus law ini dilakukan secara sangat luas yang kalau kita lihat dalam pertimbangan-pertimbangan itu menimbulkan banyak sekali persoalan,” ujar Hamdan.
Alasan kedua adalah perubahan penulisan di beberapa substansi UU Cipta Kerja, pasca persetujuan bersama antara DPR dan presiden. Menurutnya, hal tersebut sangatlah fatal dalam pembentukan perundang-undangan.
Lazim jika MK memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, mengingat pembahasannya mencakup 78 undang-undang dengan waktu yang sangat cepat. Sehingga kesalahan ketik masih terjadi usai pengesahannya.
“Tidak gampang, tapi pembahasannya dilakukan secara cepat. Sehingga pasti banyak sekali hole dan kesalahannya yang tidak disadari, karena ketidaktelitian, karena mau cepat tadi, maka MK menyort secara khusus itu,” ujar Hamdan.
Terakhir, UU Cipta Kerja dinilai bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan. Terutama pada asas keterbukaan dan partisipasi publik selama pembahasannya. “Jadi karena banyak begitu banyak, pembahasan begitu cepat, dan partisipasi publik yang kurang, yang minim, sehingga dengan tiga alasan secara kumulatif itulah UU ini dinyatakan cacat prosedur,” ujar Ketua MK periode 2013-2015 itu.