UPDATE KOPITU – Indonesian Grocery VS Sekolah Ekspor Dejavu Disabilitas Pemerintah Atasi Problem Ekspor

Ekspor produk UMKM saat ini dapat menjadi solusi paling strategis dalam memulihkan kondisi perekonomian bangsa, karena bukan rahasia lagi bahwa produk UMKM Indonesia memiliki kapasitas yang kompetitif dalam pasar global. Secara fundamental, ekspor bertujuan untuk meningkatkan nilai produk dengan cara melakukan penetrasi pasar di negara dengan daya beli yang lebih tinggi. Namun dengan ekspor, maka ada beberapa konsekuensi yang dapat menjadi beban tersendiri bagi pelaku UMKM, yaitu spesifikasi produk secara detil dan biaya logistik yang tidak sedikit.

Dewasa ini, pemerintah melalui kolaborasi Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi dan UKM menggagas sebuah program ekspor dengan tajuk “Program 500.000 Eksportir Baru”. Dalam rangkaian program tersebut, ada beberapa poin kunci yang menjadi titik berat pelaksanaan program, satu diantaranya adalah adanya Sekolah Ekspor. Bagaimanapun, hal tersebut bukan langkah yang tepat untuk mendorong pelaku UMKM untuk berkontribusi nyata bagi peningkatan eksportasi Indonesia.

Sebelum merambah lebih jauh, perlu diketahui kondisi existing dari pelaku UMKM dan kesulitan yang dihadapi dalam memenuhi impian mereka untuk Go Global. Pelaku UMKM pada dasarnya sudah memiliki peluang yang sangat besar, bahkan pasar sudah tersedia secara tidak langsung dengan kuatnya komunitas bentukan diaspora di negeri-negeri seberang. Informasi terkait spesifikasi yang perlu dipenuhi juga bukan sesuatu yang amat sulit untuk mereka peroleh, namun upaya mereka untuk memenuhi spesifikasi tersebutlah yang menjadi kesulitan sebenarnya, di samping biaya logistic yang makin naik.

Secara regulative, kerjasama ekonomi seperti IA-CEPA, IK-CEPA dan sebagainya telah membuka peluang makin luas, namun sepertinya pemerintah masih belum dapat meraba masalah yang sebenarnya. Justru sampai saat ini, promosi-promosi produk yang mampu memakan anggaran besar namun tidak memberikan pengaruh signifikan tetap dijalankan. Dan sekarang justru mendorong para pelaku UMKM untuk “back to school”. Dengan beberapa fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa program baru tersebut hanya sekedar reissue dari paradigma lama dengan wajah baru. Kolaborasi Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Koperasi dan UKM yang sekarang terjalin ini memang diperlukan, namun sepertinya instinct dan sense of priority belum dapat sepenuhnya berfungsi.

Perlu ada introspeksi terhadap produk yang beredar dalam pasar kita saat ini. Sekitar 80% produk yang beredar melalui marketplace adalah produk impor dan hanya sekitar 20% sisanya adalah produk lokal. Akan sangat ironis jika kita tidak dapat mengetahui bagaimana penetrasi produk UMKM asing dapat menembus pasar Indonesia, sedangkan produk UMKM Indonesia mengalami sebaliknya. Untuk itu, perlu ada peninjauan dan studi yang lebih dalam, berani, dan cerdas. Jika sampai sekarang kita hanya mengandalkan Lembaga-lembaga pemasaran produk UMKM yang notabenenya merupakan pihak ketiga berorientasi profit, artinya pelaku UMKM hanya alasan saja untuk menciptakan atau mempertahankan anggaran-anggaran program yang sifatnya tidak efektif. Di samping itu, peran Agregator yang kompeten juga sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas kerja terutama memecahkan permasalahan logistik dan pembiayaan sebagaimana diusulkan oleh Menteri Koperasi dan UKM. Tentunya hal tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja Lembaga Pemasaran Kemenkop dan UMKM (SMESCO)

Terlepas dari program pemerintah tersebut, program Indonesian Grocery KOPITU berani mengambil langkah yang lebih solutif, praktis dan spesifik. Dengan menyerang langsung titik lemah system ekspor dan mendorong balik ke pemerintah untuk membuka mata akan kondisi yang sebenarnya. Tidak hanya membantu, membina dan mendampingi langsung pelaku UMKM namun juga memediasi pemerintah untuk menggeser anggaran yang tidak perlu, ke aspek yang lebih krusial seperti persyaratan legalitas edar produk di negara target dan biaya logistic yang menjadi tanggungan pelaku UMKM. Dengan penguatan semacam itu, sepertinya pelaku UMKM bisa “bolos sekolah” dan langsung melakukan penetrasi yang nyata, demi peningkatan ekspor bangsa.
Ditulis Oleh: Yoyok Pitoyo, Ketua Umum Komite Pengusaha Mikro Kecil Menengah Indonesia Bersatu (KOPITU)

TAGAR : #kopitu #umkmkopitu #suksesexpor #goExpor #goGlobal #ukmnaikkelas #ukm #umkm #expor #ekspor #indonesiangrocery #IA-cepa #IK-cepa #smesco

Follow Sosial Media

Facebook : 
(20+) Kopitu Komite Pengusaha Mikro Kecil Menengah Indonesia Bersatu | Facebook

Twitter : https://twitter.com/KomiteKecil

Instagram : https://www.instagram.com/kopitu_/

UPDATE KOPITU – Pertemuan KOPITU dan Kementerian Koperasi & UKM RI untuk UMKM Go Ekspor

komite-umkm.org – Senin, 23 November 2020 ketua umum Komite Pungusaha Mikro Kecil Menengah Indonesia Bersatu (KOPITU) Yoyok Pitoyo mengadakan pertemuan dengan ibu Viktoria Simanungkalit selaku Deputi Produksi & Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia. Pertemuan tersebut dalam rangka membahas Indonesian Grocery Kopitu.

Program Indonesian Grocery KOPITU yang merupakan sebuah gagasan untuk membuka Warehouse dan Store di luar negeri dengan produk-produk nonmigas yang diproduksi oleh UMKM Indonesia. Program ini akan disinergikan dengan Platform E-Commerce dan E-Store di beberapa negara dengan kerjasama dengan beberapa mitra dan perwakilan KOPITU di negara target sebagai penanggungjawab dan pelaksana teknis. Dengan demikian, kini UKM memiliki akses untuk melakukan penetrasi pasar di luar negeri dan menduniakan produk-produknya.

“Semua produk sebelum dipasarkan akan melalui tahap kurasi oleh KOPITU untuk memastikan kualitas dan legalitas produk layak dipasarkan/marketable dan exportable” Jelas Yoyok dalam pertemuan tersebut.

Viktoria Simanungkalit menyatakan bahwa Kementerian Koperasi dan UKM siap mendukung program tersebut. Menurutnya, program KOPITU dimaksudkan untuk mensejahterakan pelaku UMKM dan ekonomi nasional.

“Produk UMKM kita sangat mempu untuk bersaing di pasar global karena memiliki kualitas yang sama baiknya bahkan lebih dibandingkan dengan produk yang sudah ada di pasar sekarang. Akan tetapi keterbatasan kita dalam mengakses perdagangan internasional, serta tidak adanya gudang di luar negeri untuk produk UMKM yang menjadi persoalan kita saat ini. Untuk itu KOPITU berencana untuk membuat market di luar negeri khusus untuk produk UMKM dengan program Indonesian Grocery, sehingga kegiatan ekspor bukan hanya menjadi mimpi bagi para pelaku UMKM” tambah yoyok.

Indonesian Grocery memiliki beberapa tujuan, yakni: meningkatkan ekspor UMKM Indonesia, tempat penyimpanan produk sementara sebelum dikirim ke penerima di negara tujuan, tempat untuk mengkonsolidasi dan dispersi produk UMKM, dan menjaga jumlah produk agar tetap tersedia di pasar. Diharapkan kedepannya program ini mampu meningkatkan kesejahteraan pelaku UMKM Indonesia dan menyebarluaskan produk UMKM Indonesia ke seluruh negara. Dengan adanya warehouse, produk UMKM di luar negeri juga dapat dikeluarkan lebih dulu atau lebih lama dari gudang sesuai dengan permintaan. Barang juga dapat disatukan atau dibagi terlebih dahulu sebelum dikirim, selain itu melalui program ini diharapkan tidak terjadi kekurangan produk di pasar sehingga produk yang dijual dapat dinikmati sepanjang waktu.

TAGAR : #kopitu #umkmkopitu #suksesexpor #goExpor #goGlobal #ukmnaikkelas #umkm

Follow Sosial Media

Facebook : https://www.facebook.com/kopitu.jaya.5/

Twitter : https://twitter.com/KomiteKecil

Instagram : https://www.instagram.com/kopitu_/

UPDATE KOPITU – Penundaan Cicilan Kredit Jadi Tumpuan Ekonomi untuk Bangkit

komite-umkm.org – Sinyal perpanjangan restrukturisasi kredit semakin kuat disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memastikan perpanjangan relaksasi kredit yang tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical.

“Memang perlu diperpanjang, silahkan kalau ada nasabah yang sudah jatuh tempo kalau memang mau direstrukturisasi, direstrukturisasi saja dan masih berlaku sampai Februari 2021. Bahkan, mungkin ada perpanjangan lebih dari itu,” katanya, saat berbicara dalam webinar Capital Market Summit Expo, Senin (19/10).

Dalam aturan tersebut, pelonggaran kredit hanya berlaku hingga 31 Maret 2021 bagi debitur terdampak pandemi covid-19. Sebelumnya, Wimboh pernah menyampaikan jika pelonggaran kredit itu bisa dilanjutkan hingga 2022 mendatang.

Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani menilai perpanjangan penundaan cicilan kredit sudah tepat. Pertimbangannya, banyak perusahaan yang merupakan debitur bank belum pulih dari tekanan pandemi covid-19.

“Kalau melihat situasinya banyak perusahaan belum recovery (pulih). Jadi kalau tidak diperpanjang kemungkinan di April, mereka juga tidak bisa bayar cicilan,” ujarnya, Selasa (20/10).

Lewat restrukturisasi kredit itu, OJK mengkategorikan kredit atau pembiayaan yang direstrukturisasi sebagai kredit lancar. Asal, debitur bersangkutan terdampak covid-19 serta lolos assessment (penilaian) dari bank.

Oleh sebab itu, Aviliani menuturkan jika restrukturisasi kredit dicabut, sementara bisnis belum kembali normal, kemungkinan besar mereka tidak bisa membayar cicilannya. Kalau itu terjadi, angka rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) di bank bisa langsung naik.

“Ini juga permintaan dari bank untuk memperpanjang supaya dari sisi bank NPL juga tidak langsung naik. Di sisi yang lain perusahaan diberikan kesempatan untuk kondisi mereka diperbaiki. Karena, sekarang demand belum normal, penjualan belum bisa menghasilkan apa-apa,” imbuhnya.

OJK Mencatat NPL Bank Umum

Sebagai informasi, OJK mencatat NPL bank umum berada di posisi 3,22 persen per Juli 2020. Angka itu bertambah dari Juli 2019 yang 2,50 persen.

Meski demikian, NPL itu cenderung stabil dari Juni 2020 yang 3,11 persen.

Aviliani mengatakan bila NPL bank naik di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih, bisa berdampak buruk. Itu bisa memicu terjadinya pencairan uang di bank secara besar- besaran atau rush.

Oleh sebab itu, ia mengaku mendukung keputusan perpanjangan restrukturisasi kredit

“Ini lebih kepada banknya, mereka juga butuh karena kalau relaksasi, selesai kredit macet naik kondisi ekonomi belum stabil nanti bisa terjadi rush melihat NPL bank naik orang naik,” katanya.

Namun, perpanjangan restrukturisasi juga memiliki sejumlah konsekuensi. Ia menuturkan bank tidak bisa lagi melakukan ekspansi kredit.

Pertumbuhan penyaluran kredit memang cenderung stagnan, yakni 1,54 persen secara tahunan di Juli 2020. Periode yang sama tahun lalu, bank umum bisa menyalurkan kredit sebanyak Rp5.452,51 triliun, menjadi Rp5.536,16 triliun di Juli 2020.

Wimboh pernah mengungkapkan salah satu alasan penyaluran kredit masih mandek adalah sikap berhati-hati (wait and see) sektor swasta dalam mengukur risiko ke depan pandemi covid-19. Imbasnya, mereka juga berhati-hati dalam mengambil pinjaman.

Selain itu, masalah itu juga dipicu daya beli masyarakat yang masih lemah. Kondisi itu membuat beberapa kredit seperti KPR, ruko, perabotan, dan elektronik justru mengalami penurunan.

Dampak perpanjangan pelonggaran kredit lainnya, kata Aviliani, penurunan pendapatan dan laba perbankan. Pasalnya, bank tidak bisa mengantongi pendapatan dari pembayaran bunga kredit.

“Dengan restrukturisasi, ada pendapatan yang tidak diperoleh bank dari kredit yang direstrukturisasi berarti keuntungan pasti berkurang,” ucapnya.

Oleh sebab itu, bank dituntut untuk memperluas pendapatan berbasis biaya dan komisi atau fee based income. Biasanya, fee based income didapatkan dari pemberian jasa-jasa perbankan, seperti digital banking, kartu kredit, pembayaran e-commerce, dan sebagainya.

“Sekarang tinggal daya tahan perusahaan atau bank-nya bisa mencari fee based income. Bank yang punya fee based income dan ekosistem itu kecenderungan mereka bisa lebih bertahan,” tuturnya.

Tren penurunan laba perbankan

Tampak dari kinerja bank BUMN pada semester I 2020 lalu. Perolehan laba empat bank BUMN kompak anjlok hingga dua digit dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Penurunan laba paling tajam dicatat oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI. Pada semester I 2020, BNI membukukan laba bersih sebesar Rp4,46 triliun, merosot 41,54 persen dibandingkan semester I 2019 sebesar Rp7,63 triliun.

Selain itu, Aviliani menuturkan bank masih menghadapi ketentuan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Selama restrukturisasi, OJK tidak mewajibkan bank melakukan pencadangan. Namun, ketentuan ini bisa saja berbeda dari standar akuntansi yang berlaku.

“Kami belum tahu apakah akuntan setuju apa belum, karena nanti begitu akhir tahun, begitu kantor akuntan mulai masuk itu bisa beda-beda. Mereka bisa minta CKPN dimasukkan, padahal dari OJK sendiri terserah bank kalau bisa ada CKPN bagus, kalau tidak bisa, tidak usah dulu,” tuturnya.

Dampaknya, jika bank harus melakukan pencadangan kredit yang direstrukturisasi, maka laba perusahaan bisa lebih tergerus.

Pengamat perbankan Indonesia Banking School (IBS) Batara Simatupang menambahkan perpanjangan restrukturisasi kredit akan menguntungkan bagi bank maupun nasabah. Lewat restrukturisasi kredit, status kolektibilitas kredit menjadi lancar, sehingga pencadangan bank juga turut berkurang.

“Turunnya pencadangan ini justru memperingan bank, bukan membebani. Karena relaksasi ekonomi dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional bertujuan agar roda ekonomi bergerak lebih cepat. Semakin banyak yang masuk dalam program ini, maka akan semakin cepat kita keluar dari resesi,” katanya.

Menurutnya, bisa saja OJK tidak memperpanjang periode keringanan kredit itu. Namun, ia menilai objek restrukturisasi bank, belum cukup kuat untuk bangkit.

Bahkan, debitur tersebut bisa masuk ke siklus krisis kedua, sehingga bisa terancam bangkrut lantaran tidak ada keringanan kredit. Kondisi tersebut, tentunya akan mengerek tingkat NPL perbankan.

“Harus diakui dalam restrukturisasi ada yang berhasil, ada juga yang belum mencapai target yang diharapkan, sehingga bagi yang masuk kategori ini, sebaiknya dilakukan perpanjangan restrukturisasi agar restrukturisasi pertama tidak sia-sia,” tuturnya.

Per 28 September, OJK mencatat realisasi restrukturisasi kredit perbankan mencapai Rp904,3 triliun kepada 7,5 juta debitur. Rinciannya 5,82 juta debitur UMKM dan 1,64 juta debitur non-UMKM.

Sedangkan, total restrukturisasi di lembaga pembiayaan (multifinance) hingga 13 Oktober 2020 tercatat mencapai Rp175,21 triliun. Pelonggaran diberikan kepada 4,73 juta debitur di 181 multifinance.

Sumber Refrensi : https://www.cnnindonesia.com/

TAGAR : #indonesiangrocery #kopitu #umkmkopitu #suksesexpor #goExpor #goGlobal #ukmnaikkelas #gerakansuksesespor #penundaancicilan #ekonomi #ojk

Follow Sosial Media :

Facebook : https://www.facebook.com/kopitu.jaya.5/

Twitter : https://twitter.com/KomiteKecil

Instagram : https://www.instagram.com/kopitu_/

Export Revolution, Gebrakan Penetrasi Pasar Luar Negeri Bagi UKM Indonesia Melalui Indonesian Grocery KOPITU


komite-umkm.org – Peluang bagi UKM Indonesia untuk melakukan penetrasi pasar dan menduniakan produk-produknya kini makin terbuka luas dengan adanya Indonesian Grocery KOPITU. Program kerja KOPITU ini dianggap sebagai sebuah revolusi, karena adanya perubahan yang sangat signifikan pada prosesnya, yang kini sangat memudahkan sisi UKM.

Melalui Webinar Export Revolution, 21 Oktober 2020 yang dihadiri oleh Agus Suparmanto selaku Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Djauhari Oeratmangun selaku Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok, Kasan selaku Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, Djoko Retnadi selaku Direktur Pelaksana II LPEI/Indonesia Eximbank, Fetty Kwartati selaku Direktur Utama PT Sarinah, Yoyok Pitoyo selaku Ketua Umum KOPITU beserta mitra ekspor-impor KOPITU yang diantaranya Syarief Thalib untuk New Zealand, Ruth Marsana untuk Australia, Fathan Abdillah untuk Jepang, Sutanto Hartono untuk Korea dan Nabil Salim untuk UAE, berbagai pertanyaan mengenai ekspor impor dibahas secara tuntas melalui diskusi dan brainstorming aktif antara para pembicara dan pelaku UKM.

Mengapa Perlu Revolusi Export

“Mengapa perlu revolusi, tentunya karena pada dasarnya semua system yang bersifat konvensional atau sudah usang, akan membuat pengguna system tersebut mengalami berbagai kesulitan. Dalam hal ini, tentunya para pengguna adalah para pelaku UKM. Kesulitan sangat banyak dialami dalam segi teknis maupun proses administrative. Itulah kenapa ekspor hanya bisa diakses oleh perusahaan besar. Dengan adanya Indonesian Grocery KOPITU, semua kesulitan itu akan kami ambil alih, serta para UKM akan kami dampingi”, ungkap Yoyok Pitoyo.

Masalah Export Yang Dihadapi UKM

Menurut Yoyok Pitoyo, berbagai kesulitan seperti kemitraan, administrasi, spesifikasi, perizinan dan proses berbelit lainya merupakan penghambat utama sulitnya ekspor. Sedangkan solusi bagi peningkatan ekonomi nasional melalui ekspor saat ini masih sangat jarang. Untuk itu, Export Revolution perlu dijadikan sebuah paradigma baru agar peningkatan eksportasi nasional dapat meningkat.

“Para UKM tentunya menaruh harapan yang sangat besar kepada pemerintah. Baik dari sisi fasilitas dan pembiayaan, dukungan promosi, kemudahan regulasi serta kebijakan-kebijakan khusus bagi para UKM. Kami akan terus memberikan dukungan kepada pemerintah dan terus membina UKM dalam rangka revolusi ini”, pungkas Yoyok Pitoyo.

Tagar : #UKM #Export #Revolution #GoExport #GoGlobal

Follow Sosial Media :

Facebook : https://www.facebook.com/kopitu.jaya.5/

Twitter : https://twitter.com/KomiteKecil

Instagram : https://www.instagram.com/kopitu_/