Salah satu kunci meningkatkan daya saing perikanan adalah lewat sinkronisasi fungsional di tata kelola dan kelembagaan sektor kelautan dan perikanan. Pembangunan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-based economy) jika dapat berjalan baik bisa mengoptimalisasi manfaat dan pemerataan ekonomi dari perikanan dan kelautan.
Dalam catatan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), potensi perikanan di laut mencapai 12,54 juta ton per tahun. Namun produksi riilnya baru 7 juta ton per tahun untuk laut dan 566 ribu di perairan daratan. Sedangkan total armada berjumlah 572.270 kapal, dengan rincian 4.828 kapal diatas 30 GT sedangkan mayoritas armada berupa kapal-kapal yang relatif kecil.
Dengan potensi perikanan, ditargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor perikanan dapat mencapai Rp 12 triliun pada 2024. Hal ini bisa saja dicapai jika 11 WPP perairan laut bisa dikelola dengan baik, adaptif dan agile melalui sinkronisasi baik tingkat pusat maupun di daerah, baik pada tata kelola, data maupun pembangunan infrastruktur.
Sinkronisasi Program dan Anggaran Perikanan
Pemangku kepentingan sepakat bahwa pengelolaan perikanan yang berkelanjutan berbasis WPP tidak dapat dikendalikan terpusat, tapi harus melibatkan pemerintah daerah, pengusaha industri perikanan, akademisi dan masyarakat, akademisi.
“Ada 11 WPP dengan karakteristik yang berbeda-beda, kita tata dan kelola dengan mengikutsertakan fungsi dan tugas dari hulu sampai hilir. Kita ajak merumuskan dan menyepakati rencana Fisheries Management Plan di masing-masing WPP yang disusun semua stakeholder agar menjadi acuan bersama,” ujar Besweni dari Direktorat Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP dalam webinar, April lalu.
Menanggapi hal ini, Koordinator Program dan Anggaran KKP, Ramli menilai yang perlu diperhatikan saat ini adalah sinkronisasi kewenangan, misalnya KKP dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan alokasi anggaran yang tersebar di masing-masing kementerian dan lembaga, maka WPP menjadi payung agar pengelolaan anggaran dan integrasi kewenangan dapat tercapai.
Sinkronisasi Pengelolaan WPP diatur jelas dalam UU No.31/2004 dan Permen KP No.19/Permen-KP/2014. Namun, perlu ditambahkan aturan terkait landas kontinen Indonesia karena adanya kesenjangan. “Perlu ditambahkan aturan tersebut karena dalam Permen KP tidak ada. Meskipun ada perdebatan bahwa itu bagian dari zona tangkap eksklusif. Namun, jika landas kontinennya perpanjangan dari Samudera Hindia, tidak bisa kita klaim sebagai ZTE,” kata Akhmad Solihin, peneliti dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-LPPM) IPB.
Selanjutnya Solihin juga melihat dalam dokumen Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KPPN) dan Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ) di daerah belum memperhatikan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP), sehingga banyak celah hukum. Agar berjalan selaras maka pengelolaan WPP bersifat lintas batas dan melibatkan tingkat pemerintah sesuai kewenangannya, sehingga pengelolaan WPP jangan hanya ditafsirkan atau pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat.
Investasi berbasis WPP adalah suatu keniscayaan karena sudah dilegitimasi dalam undang-undang yang ada. “Selain RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024, ada juga UU No 11 tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja yang membungkus semua peraturan yang ada sebelumnya,” ujar Direktur Kelautan dan Perikanan, Kementerian PPN/BAPPENAS, Sri Yanti JS dalam diskusi virtual Tempo Media bertajuk “Genjot Investasi Lewat WPP dengan Pendekatan Multi-Sektor Kelautan dan Perikanan” akhir April 2021.
Kementerian PPN/Bappenas telah mengkaji signifikansi tata kelola WPP untuk mengoptimalkan potensi sektor perikanan dan kelautan. Rencana tata ruang terintegrasi juga perlu terpetakan, demikian pula potensi investasi, risiko dan pembagian manfaat serta tekanan terhadap stok sumberdaya, degradasi ekosistem dan pemerataan manfaat ekonomi. “Ini perlu perhitungkan dan dipersiapkan sejak awal berbasis WPP,” kata Sri Yanti.
Sinkronisasi bagi Pemerataan Infrastruktur
Bagi akademisi, seyogyanya pengelolaan WPP dikerjakan bersama oleh berbagai pemangku kepentingan. Untuk membangun galangan kapal dan pelabuhan, atau kampung-kampung perikanan dibutuhkan kerja sama dengan Kementerian PUPR dan Kementerian ESDM, misalnya untuk memastikan ketersediaan pasokan listrik. Berikutnya masukan dari pengusaha dan akademisi terkait kelayakan, hingga koordinasi dengan Kemdikbud dan Kemnaker untuk kesiapan SDM mengisi lapangan pekerjaan di sektor perikanan.“Kenapa harus berkoordinasi supaya tidak chaos, ada tujuan bersama yang harus dicapai,” ujar Luky Adrianto, pakar perikanan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Saat ini sebagian besar unit pengolahan ikan (UPI) atau sekitar 60 persen berada di wilayah Jawa dan Sumatera. Padahal stok ikan di wilayah Indonesia Barat menipis atau termasuk kategori kuning atau merah karena konsentrasi penangkapan yang lebih besar (over exploited) di masa lalu.
“Ini Artinya, jumlah ikannya sedikit namun infrastrukturnya banyak. Sebaliknya di wilayah Timur, ketersediaan ikan masih banyak tetapi jumlah infrastruktur pengelolaan masih sedikit,” ujar Dani Setiawan, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Kondisi yang minim infrastruktur di wilayah Timur Indonesia menjadi peluang masuknya investor di sektor perikanan.
Menurut Ridwan, Direktur Perizinan dan Kenelayanan di KKP, selain lokasi tangkap ikan, setiap WPP juga harus memiliki pelabuhan, pemasarannya, transportasi dan industri terkait seperti galangan kapal, perbekalan untuk melaut yang merupakan pusat industri di hilir. KKP tengah berupaya membuat pelabuhan di sektor perikanan berkelas internasional seperti Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman di Jakarta Utara yang bisa dicangkok ke pelabuhan-pelabuhan lain seperti di Bitung, Belawan, Bangka dan lain lain.
“Tapi masih terlihat ketimpangan antara Kawasan Barat dan Timur dimana jumlah pelabuhan perikanan lebih banyak di wilayah Barat. Ini juga menjadi konsen pihak kami untuk menyeimbangkannya,” katanya.
Sri Yanti menambahkan, WPP dengan pendekatan multisektor dapat dimaksimalkan dalam menggenjot investasi yang berkelanjutan. Asalkan, kaidah pengelolaan kelautan dan perikanannya harus berbasis sains dan inklusif dengan tetap memperhatikan lingkungan. “Data akurat harus tersedia mulai dari produksi perikanan, volume, nilai ekspor, kesejahteraan nelayan hingga target investasi,” katanya. Dengan ketersediaan data berbasis WPP ini tentunya bisa diatur dengan baik kebutuhan infrastruktur dan sumber daya manusianya, serta yang terpenting bisa dikelola dampak investasi, seperti tekanan terhadap stok sumber daya dan kemungkinan degradasi ekosistem.
Dalam pandangan pengusaha, sebaiknya pemerintah menjalankan satu atau dua WPP terlebih dulu hingga bisa berjalan baik. Selanjutnya menggarap WPP lainnya yang lain sambil belajar dari pengelolaan WPP sebelumnya. Bila konsep WPP tersebut bisa berjalan baik, maka mereka optimistis pengelolaan perikanan akan lebih baik. “Kita pengusaha bukan hanya ingin menjaga stok perikanan tetapi juga harus membangun usaha perikanan berkelanjutan,” ujar Ketua Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI) Janti Djuari.
Janti juga menggarisbawahi diperlukan insentif bagi perikanan berkelanjutan dan penguatan kelembagaan WPP untuk meningkatkan konektivitas antar pemangku kepentingan. “Ini bisa memudahkan pusat mengidentifikasi isu-isu lapangan serta mempererat industri dan pemerintah”.
Sinkronisasi data perikanan yang terukur
Untuk mendorong optimalisasi, KKP mulai memperkuat pejabat fungsional. Sekjen KKP Antam Novambar mengatakan, pelantikan pejabat fungsional tersebut berdampak pada perubahan pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) di lingkungan kerja baik di pusat maupun di unit pelaksana teknis. Pelantikan pejabat fungsional tersebut juga bagian dari penyederhanaan birokrasi sesuai arahan Presiden Joko Widodo, 20 Oktober 2019.
Penasehat Himpunan Pengusaha Pukat Udang Indonesia (HPPI), Endroyono berpendapat, sinkronisasi pejabat struktural dan fungsional dalam mengembangkan WPP merupakan langkah penting. Keberadaan pejabat fungsional di pelabuhan selama ini belum optimal, padahal banyak data di pelabuhan-pelabuhan yang bisa diperoleh melalui Surat Laik Operasi (SKLO) Surat Persetujuan Berlayar (SPB) maupun logbook.
“Data tersebut bisa dikelola bisa menjadi informasi yang berguna untuk pengembangan WPP se-Indonesia. Harus dihimpun semua data dari setiap pelabuhan, dikumpulkan per WPP menjadi satu informasi yang lebih berguna dan bisa menjelaskan potensi kelautan yang ada. Termasuk informasi dari logbook, misalnya. Selama ini pelaporan kapal datang dan masuk ke pelabuhan hanya sebagai bentuk kepatuhan (compliance) saja. Sekadar mematuhi aturan. Padahal data yang ada di pelabuhan bisa dikumpulkan menjadi informasi yang berguna bagi pengelolaan WPP,” jelas Endroyono.
Begitu pula dari Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang berisi informasi kapan kapal berangkat, kapan pulang, ukuran kapal, ukuran mesin, sehingga bisa diketahui,jumlah BBM yang dikonsumsi satu kapal laut selama satu kali trip (pergi-pulang). Berdasarkan data tersebut, seharusnya setiap pelabuhan bisa menghasilkan data untuk mengetahui jumlah kebutuhan BBM pada pelabuhan tersebut. Bisa pula menjadi dasar kebijakan pemerintah untuk menstabilkan harga BBM di Pelabuhan. Dari logbook bisa diketahui kapan musim ikan tertentu, apakah suatu daerah sudah over fishing dan sebagainya
Dani Setiawan dari KNTI menilai, keberadaan WPP sangat penting karena dapat menjadi indikator ketersediaan stok ikan, terutama bagi nelayan tradisional. Ketersedian stok ikan sangat berpengaruh terhadap jumlah pendapatan mereka karena berkaitan dengan kesejahteraan para nelayan, terutama nelayan kecil.
Ia menambahkan, adanya kendala kekurangan infrastruktur di wilayah Timur bisa diatasi dengan pemetaan dan menambah Tempat Pengelolaan Ikan (TPI) berbasis WPP. TPI dapat dioptimalkan menjaga harga ikan dari nelayan. “Sekarang karena banyak TPI tidak berfungsi, kalau musim panen atau hasil tangkapan bagus tapi tidak ada yang membeli terpaksa ikan tersebut mereka lepas lagi ke laut. Tidak ada pilihan lain,” jelas Dani.
Kondisi WPP seharusnya menjadi dasar bagi rasionalisasi fishing capacity. Ia menjelaskan, dari sekitar 600 ribu kapal tangkap yang tercatat, sebanyak 90 persen berukuran di bawah 5 gross ton, yaitu kapal ukuran kecil. Kapal kecil ini ini diperlukan pada perairan 0-12 mil. Sehingga kalau mau ditambah sebaiknya ke WPP yang masih berkategori hijau dan kuning. Kapal-kapal ini bisa diorganisir sehingga bisa menguasai secara kolektif, misal dalam bentuk koperasi.
Terkait peran WPP dalam mendukung perekonomian, bagi Dani dengan mengelola WPP secara baik, pangan bagi masyarakat Indonesia akan tercukupi dengan kualitas baik dan harga terjangkau.
Sinkronisasi peran pemerintah daerah
Pengembangan WPP menjadi kebutuhan sekaligus bisa mengenjot investasi di daerah. Misal di wilayah perairan Jawa Timur terus melakukan pengembangan potensi perikanan. Pembinaan kepada para nelayan juga ditingkatkan untuk mengerem laju penurunan produksi perikanan di Jawa Timur yang terus menurun sejak 2018. Ketika itu, posisi produksi mencapai 22,7 ribu ton sedangkan pada 2020 produksi perikanan menurun signifikan menjadi 15,9 ribu ton. Diharapkan produksi 2021 tidak lagi terjadi penurunan.
Padahal wilayah perairan Jawa Timur dikenal sebagai penghasil rajungan untuk andalan ekspor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume ekspor rajungan Januari – Februari 2020 mencapai 4.462 ton dengan nilai ekspor mencapai 70.065 ribu dolar AS, meningkat 6,81 persen dibanding periode yang sama tahun 2019 yang sebesar 65.599 dolar AS.
Terkait upaya pengembangan investasi rajungan, Kasie Pengelolaan Sumber Daya Ikan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, Jadmika Sufiadi menceritakan, sejak Juni 2021 lalu sudah ditetapkan Tim Pengelolaan Sumber Daya dan dan Data Perikanan Rajungan. Anggotanya dari berbagai pihak, diantaranya melibatkan perguruan tinggi, asosiasi pengelola rajungan, dan NGO.
“Tim tersebut secara bersama-sama akan membahas pengelolaan rajungan yang berkelanjutan, termasuk bila ada kebijakan yang tumpang-tindih ketika diterapkan di lapangan,’ jelas dia.
Pihaknya juga menjalankan rencana kerja terkait pengkayaan habitat sumber daya rajungan dan peningkatan pengelolaan rajungan berbasis masyarakat. Diantaranya mengedukasi kelompok nelayan bahwa rajungan yang boleh ditangkap sesuai Permen KP nomor 12/ 2020, hanya yang berukuran di atas 10 cm atau 60 gram per ekor.
Wilayah perairan Sulawesi Utara pun lebih potensial dan dikenal sebagai penghasil ikan tuna. Potensi ekspor langsung produk tuna segar via direct call ke Jepang dan Singapura, sejak tahun 2020. Ekspor langsung tersebut membuat biaya logistik lebih murah. Waktu tempuh pun lebih singkat dari semula 9-15 jam menjadi 3,5 jam sehingga tetap terjaganya kualitas produk tersebut, serta melahirkan eksportir dan supplier baru dari UMKM.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Utara, Tineke Adam bercerita, pengembangan potensi KP pada WPP di Sulawesi Utara dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi pendataan dan analisis sumber daya ikan secara berkelanjutan di WPP 715 dan 716 dan mendorong peran pelabuhan perikanan di Sulawesi Utara. Penguatan kelembagaan nelayan skala kecil juga dilakukan dengan perbaikan mutu terutama penangkap ikan tuna atau cakalang. Termasuk mengintensifkan metode penguatan maupun ketersediaan anggaran untuk program-program pelatihan masyarakat di daerah kepulauan.
Tineke menambahkan, pembangunan infrastruktur pemasaran dan manajemen produk perikanan dari daerah kepulauan (Sitaro, Sangihe, Talaud) ke sentra perikanan di Sulawesi Utara seperti Bitung dan Manado yang relatif jauh, sehingga SKPT yang ada perlu dioptimalkan,” jelas Tineke. Dukungan pembiayaan dari pemerintah pusat juga penting untuk segera mendorong masuknya investor pada industri processing tuna, cakalang atau tongkol di daerah kepulauan.
“Industri pengolahan ikan tuna sangat bergantung pada ketersediaan tuna yang ada di WPP 715 dan 716. Karena itu kerjasama penangkapan ikan antar provinsi yang tergabung dalam WPP perlu diwujudkan yaitu Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tengah Maluku Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Kerjasama bisa berupa transfer teknologi, investasi, kapasitas kelembagaan dan pengembangan armada perikanan,” jelas dia.
Terkait optimalisasi WPP, lanjut dia, perlu penguatan lembaga pengelolaan perikanan berbasis WPP. Termasuk didalamnya dasar hukum dan level kewenangan. Dalam tataran teknis, level nasional memberikan kebijakan arah tindakan pengelolaan dan implementasi rencana pengelolaan perikanan yang spesifik di masing-masing WPP melalui berbagai bentuk koordinasi seperti kelompok kerja, panel ilmiah, panel konsultatif, dan komisi pengelola.
“Juga diperlukan koordinasi yang jelas sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, melibatkan unsur ilmiah (peneliti dan pakar) dalam panel ilmiah, serta pelibatan pemangku kepentingan masyarakat perikanan dalam panel konsultatif. Adapun tujuan akhir dari Lembaga pengelolaan perikanan WPP yaitu menjaga sumber daya ikan yang berkelanjutan,” ujar Tineke. Infografis Genjot Investasi Perikanan Berkelanjutan Berbasis WPP.(*)
Follow Sosial Media :
TAGAR : #Indonesia #SuksesExpor # #UMKM #umkmkopitu #goExpor #goGlobal #ukmnaikkelas #yoyokpitoyo #KOPITU
Facebook : https://www.facebook.com/kopitupusat
Twitter : https://twitter.com/KomiteKecil
Instagram : https://www.instagram.com/kopitu_/