Pemberdayaan petani untuk naik kelas dan mengakses pasar ekspor makin ramai digaungkan di Indonesia dewasa ini. Dalam pencapaian tujuan tersebut, banyak hal yang perlu diatur terlebih dahulu untuk mengatasi berbagai permasalahan yang umumnya terjadi pada petani, seperti pembayaran panen yang tidak menentu, penetrasi pasar yang sulit, digitalisasi, pendanaan, hingga ketersediaan fasilitas pendampingan dan pemberdayaan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi dalam Webinar KOPITU dan Propaktani 27/10. Selain Dirjen Suwandi, Webinar tersebut juga dihadiri oleh Ketua Umum KOPITU Yoyok Pitoyo, Suroto selaku CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat, dan Alexander selaku perwakilan dari PT. Mitra Enabler Indonesia.
“Banyak petani yang belum berani untuk memulai korporatisasi karena ketidaktahuan mereka tentang keuntungan yang bisa didapat. Memang kebanyakan karena belum tahu. Sekalipun sudah tahu, pasti akan bingung memulai karena pasti harus ada yang membimbing, harus ada yang mengarahkan”, tutur Suroto. Menurut Suroto, pada dasarnya bahkan dalam level desa, baik dalam bentuk BUMP, Bumdes maupun Koperasi, perkembangan dan kesejahteraan petani bisa meningkat dengan signifikan, apalagi jika di level yang lebih luas.
Sedangkan pihak PT. MEI menyampaikan bahwa dalam bentuk kecil sekalipun, petani pada dasarnya dapat membentuk sebuah kelompok usaha yang profitable. “Kita kerjasama dengan KOPITU, ada kelompok usaha yang namanya Enabler. Lewat situ sebenarnya sudah all in one. Apalagi dengan jaringan KOPITU di seluruh Indonesia, pemberdayaan bisa dilakukan disertai pendampingan, tinggal inisiatif aja sebetulnya untuk menimbulkan kemauan dari petani untuk naik kelas”, ungkapnya.
“Iya kita memang ada kerjasama untuk jaringan Enabler di Indonesia. Fungsinya bisa jadi media untuk masuk marketplace, pendanaan sampai perolehan keuntungan dari transaksi yang terjadi dalam marketplace tersebut. Jatahnya sudah diatur dalam satuan persen bagi Enabler kita untuk total transaksi di daerah binaan mereka”, ungkap Yoyok Pitoyo.
“Kalau dengan metode ini, petani ngga perlu khawatir pembayaranya tempo atau tidak menentu. Kalau pake model kita punya, petani bisa dapat dana dulu”, pungkasnya.