Kementerian Pertanian RI melalui Direktorat Jenderal Tanaman Pangan hari Sabtu tanggal 22 Mei 2021 menyelenggarakan kegiatan dengan tajuk Gerakan Konsumsi Pangan Lokal Di Perhotelan yg mengambil tempat di Mercure Bandung City Centre, Bandung, Jawa Barat. Sebenarnya agak mengherankan juga karena yg menginisiasi kegiatan tersebut bukan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian RI yg memiliki program-program yg terkait dengan pengembangan pangan lokal tetapi oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI. Mungkin tidak penting dan memang tidak perlu dipersoalkan unit kerja mana di lingkup Kementerian Pertanian RI yg menginisiasi, terpenting adalah pengembangan pangan lokal sebagai sumber pangan alternatip terus digelorakan di Indonesia. Kegiatan yg berlangsung sehari itu diisi dengan agenda utama MOU antara Kementerian Pertanian RI dengan Kelompok Accor Hotel yg memiliki jaringan hotel di berbagai negara di dunia dan para pihak terkait (antara lain Rumah Mode Bandung) dengan tujuan agar produk-produk yg dihasilkan oleh pelaku usaha pangan lokal dapat menjadi bagian menu konsumsi tamu hotel atau tampil di outlet hotel-hotel anggota kelompok ACCOR baik di dalam negeri maupun di manca negara. Produk-produk yg disediakan oleh pelaku usaha pangan lokal dapat berupa olahan pangan lokal intermediate, siap saji (termasuk minuman untuk meningkatkan imunitas tubuh) dan dalam bentuk olahan pangan lokal berkemas. Sudah barang tentu tindak lanjut yg diperlukan dari kegiatan tersebut adalah kegiatan pemantauan dan evaluasi terhadap para pihak yg telah membangun kesepakatan sehingga tidak sebatas atau berhenti pada kegiatan seremonial semata. Hal itu tentu berkaca dari pengalaman kegiatan one day no rice yg berlangsung beberapa tahun lampau yg sebagai tindak lanjutnya diterapkan oleh salah satu daerah di Indonesia dengan melakukan kemitraan usaha untuk menyediakan mie dari MOCAF (Modified Cassava Flour) oleh pelaku usaha pangan lokal yg tidak berkelanjutan karena adanya perubahan kebijakan seiring dengan terjadinya pergantian pimpinan daerah. Selain itu, ketidakoptimalan pelaksanaan program sejenis seperti program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dan Perbaikan Menu Makanan Rakyat (PMMR) bisa dijadikan pembelajaran untuk menetapkan dan menguatkan kebijakan dan program pengembangan pangan lokal. Kegiatan pengkajian yg menyangkut soal preferensi (selera) masyarakat konsumen terhadap berbagai jenis pangan lokal dengan menggandeng perguruan tinggi perlu dilakukan, termasuk pengkajian yg terkait dengan nilai fungsionalnya, jadi tidak sebatas hanya melihat pada nilai gizinya saja.

Berbagai regulasi yg menjadi payung hukum dalam pengembangan pangan lokal atau penganekaragaman konsumsi pangan non beras dan non terigu telah ditetapkan. Sebut saja UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, PERPRES Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal dan PERPRES Nomor 83 Tahun 2017 Tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi. Kebijakan dan program penganekaragaman konsumsi pangan non beras dan non terigu sangat strategis mengingat konsumsi beras dan terigu oleh masyarakat Indonesia hingga kini relatif masih tinggi. Konsumsi beras perkapita pertahun menurut BPS adalah sebesar 111,58 kilogram, angka ini terbilang masih tinggi jika dibandingkan dengan rerata negara-negara di Asia yg dibawah 90 kilogram perkapita pertahun. Sedangkan untuk konsumsi tepung terigu adalah sebesar 23 kilogram perkapita pertahun yg menjadikan impor gandum Indonesia melonjak hingga menembus angka 10,16 juta ton pada tahun 2018 sehingga Indonesia menjadi importir gandum terbesar di dunia. Padahal potensi sumberdaya pangan lokal di Indonesia dalam bentuk biji-bijian selain padi dan jagung seperti sorgum/cantel dan umbi-umbian yg sering disebut dengan polo gumantung, polo kependem dan polo kesampar sebagai sumber karbohidrat sangat melimpah ruah di Indonesia. Belum lagi sumber karbohidrat yg berasal dari tanaman sagu. Dengan potensi tanaman sagu sebesar 5,5 juta hektar dari 6,5 juta hektar potensi dunia, Indonesia merupakan lumbung pangan alternatip terbesar di dunia.

Selain persoalan preferensi (selera) masyarakat konsumen dan terkait dengan kemasan, persoalan lain dalam pengembangan pangan lokal adalah menyangkut kapasitas produksi yg dilakukan oleh pelaku usaha pangan lokal skala kecil yg memang kurang memadai akibat keterbatasan alat dan mesin pengolahan sehingga harga jual produk pangan lokal intermediate kalah bersaing dengan tepung gandum. Untuk itu perlu penguatan terhadap akses sumber daya produksi bagi petani sebagai pemasok bahan baku serta fasilitasi alat dan mesin pengolahan yg memadai bagi pelaku usaha pangan lokal sehingga dapat dihasilkan produk pangan lokal yg memenuhi kaidah 3 (tiga) K, yakni kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Selain harus berkualitas, sesuai tuntutan masyarakat konsumen, produk pangan lokal juga harus aman dan halal dikonsumsi.

KASONGAN, Bantul, 23 Mei 2021

Asikin CHALIFAH

∆ Pembina Rumah Literasi (RULIT) WASKITA, Kedungtukang, BREBES.
∆ Ketua DPW PERHIPTANI DIY.
∆ SEKJEN KOPITU (Komite UMKM Indonesia Bersatu).

Follow Sosial Media

TAGAR : #kopitu #umkmkopitu #pertanian #KementrianPanganRI # #suksesexpor #goExpor #goGlobal #ukmnaikkelas # #yoyokpitoyo

Facebook : https://www.facebook.com/kopitupusat

Twitter : https://twitter.com/KomiteKecil

Instagram : https://www.instagram.com/kopitu_/

No comments